Dualisme Warkop di Tulungagung
Tulungagung - Jum’at malam di bulan Mei, sehabis menikmati kacang ijo dengan es, saya memulai obrolan ringan dengan Cak Saniri dan Romlah, sepasang perantau Madura yang bekerja sebagai penjual bubur di depan Pasar Ngantru, Tulungagung. Kami ihwali dengan perkenalan. Tiba saat saya mengaku sempat bermukim agak lama di Malang, ia langsung meresponnya dengan menyebut sebuah nama: “Kenal si R? Saya jawab: “ndak, Cak” (dipikirnya Malang itu seluas dusun apa ya?) Gumam saya dalam hati. Ceritanya, si R ini rupa-rupanya adalah kawan sekampung Cak Saniri yang pekerjaannya adalah residivis kambuhan-spesialis pencurian mobil di Malang, lebih khusus lagi mencuri mobil para jemaat gereja yang diparkir ketika si empunya melakukan kebaktian. Mendengar cerita itu, pikiran saya mulai menebak-nebak, menganalisa, menerawang jauh pada ingatan lamat-lamat sewaktu SMA dulu, yaa..pencurian sandal jemaat gereja oleh sekelompok teman-teman SMA.
Saya kemudian bertanya dengan nada memvonis; “kalau mobilnya orang Islam apa juga dicuri ya, Cak?”. Ia menjawab agak malu-malu; “tidak”. Saya kemudian berpikir, jangan-jangan ini soal sesat pikir soal konsep “kafir” di kalangan awam Madura. Oke, baiklah. Meskipun tema ini menarik, saya simpan rasa penasaran saya dan membuka lembar obrolan baru tentang fenomena warung kopi di Tulungagung. Di benak Saniri dan Romlah, Warung Kopi (Warkop) dipersepsikan tak lebih sebagai tempat hura-hura sesaat dan tempat menghabiskan uang.
Bicara fenomena warkop di Tulungagung, ada dua frasa yang masyhur di telinga saya; kopi ijo dan kopi pangku. Yang pertama bisa dimaknai sebagai salah satu varian kopi “oplosan” lokal yang sangat khas di Tulungagung dan terkenal bagi kalangan pecinta kopi di Jawa Timuran. Yang kedua, tentu saja ini bukan varian kopi, tapi satu istilah lokal yang merujuk pada fenomena coffee barista (khususnya pelayan perempuan) di beberapa warung kopi di Tulungagung. Saya tak begitu tertarik dengan rasa yang ditawarkan kopi ijo. Beberapa tahun kepungkur, sewaktu diajak seorang kawan untuk menikmati kopi ijo pertama kali di sebuah warung kopi di Malang, saya meledeknya: mending makan bubur kacang ijo-nya langsung lebih enak, dari pada dicampur kopi yang bikin rasanya tak jelas seperti ini. Kawan saya tak menggubris. Lahap betul ia menikmati secangkir kopi dengan anasir rasa seperti kacang ijo itu.
Sabtu, menjelang siang saya berangkat dengan Lantip, kawan asal Ngantru yang sudah saya kenal sejak beberapa tahun lalu. Dari dusunnya Lantip di Lemah Duwur, Desa Bathokan, Kecamatan Ngantru, saya berjumpa dengan banyak warung kopi, ada sekitar 8 warung kopi yang sempat saya hitung dengan jarak yang relatif dekat, antara 500 meter sampai 1 km, ini dalam lingkup dusun loh. Motor terus melaju ke arah Kedungwaru, sebuah kecamatan pinggiran sebelum memasuki kota Tulungagung. Memasuki desa Ngujang, Lantip membelokan motornya melewati sawah-sawah dengan tanaman tebu menjulang di kanan kirinya. Sampai disebuah perkampungan, Lantip memelankan laju motornya, kami melihat ke sisi kanan, berderet rapi disitu beberapa warung kopi yang menyatu dengan rumah-rumah penduduk.
Pengunjung warkop masih sepi, saya melihat beberapa perempuan ada di dalam warung, berpenampilan agak minor, dengan setelan tank-top dan celana jeans ketat. Tampak juga seorang perempuan yang tengah asyik berdandan. Seorang perempuan lagi dengan perawakan agak gendut sedang berduduk santai, dan menatap ke arah kami seolah-olah hendak menyapa dan mengajak mampir. Tapi motor tetap melaju pelan. Keluar dari perkampungan itu, Lantip berbisik lirih; “iku Jhon, sing jenenge lokalisasi Ngujang, tapi saiki wes sepi” (Itu Jhon, yang namanya Lokasisasi Ngujang, tapi sekarang sudah sepi”).
Lepas dari Ngujang, motor melaju ke arah desa Boro, masih dalam wilayah kecamatan Kedungwaru. Di desa Boro ini terdapat warung kopi namanya Rumah Tua atau yang mashur di telinga pecinta kopi dengan istilah “RT”. Lantip belum tahu lokasi persisnya. Ketika berpapasan dengan seorang pemuda, Lantip menghentikan motornya dan bertanya:
“Mas, nuwunsewu, ngertos warung kopi Rumah Tua nggeh”?
“RT to, Mas?” pemuda itu balik bertanya.
“Enggeh” jawab Lantip.
Pemuda itu kemudian memberi petunjuk. Lokasinya memang cukup dekat, mungkin tinggal sak-rokoan. Sebelum berpamitan, ia meng-grundel.
“Owalah, ngopi kok disitu, mas.”.
“kenapa mas?” tanya saya
“kopine larang mas, tur ra penak” jawabnya.
Mendengar nggrundelan si Pemuda, saya teringat nasehat Romlah, isteri Cak Saniri, yang kami bertemu sehari sebelumnya di depan pasar Ngantru. Disela-sela obrolan gayeng dengan Cak Saniri, isterinya nyeletuk dalam Madura: “poko’en je’ ngopi edissa’ le’, deggi’ mato kakeh” (pokoknya jangan ngopi disitu, dik, nanti kamu ketagihan). Nasehat seperti itu sesungguhnya sudah tersirat dalam obrolan saya dengan suaminya. Dalam cerita panjangnya, Cak Saniri bertutur tentang pengalaman pahit beberapa kawan-kawannya sesama perantau di Tulungagung, dari residivis pencurian mobil di Malang yang buron dan akhirnya tertangkap di Tulungagung, sampai cerita tentang kawan-kawannya yang bangkrut berdagang gara-gara kebiasaan “ngopi” ditempat-tempat “seperti itu”.
“Ngopi ditempat-tempat seperti itu” ini menjadi deret frasa yang cukup memancing saya untuk mengulik cerita lanjutan. Lha, kami ini kan penikmat kopi cum pengamat sosial (amatiran) je. Cak Saniri menjelaskan duduk perkaranya. Rekan-rekannya yang relatif lebih muda, sebagian sudah beristri itu punya kebiasaan ngopi di tempat “seperti itu” (kopi pangku, dalam tafsiran saya). Semalam mereka bisa ngopi di dua sampai tiga warung kopi. Begitu terus hampir tiap malam. Lebih jauh dia bercerita tentang seorang temannya yang berprofesi sebagai penjual sandang (baju dan celana) keliling. Menurut Cak Saniri, temannya tersebut semalam biasa ngopi di tiga tempat berbeda, dengan menghabiskan uang antara 50 ribu sampai 75 ribu rupiah semalam hanya untuk ngopi dan mentraktir teman-temannya yang lain. Padahal penghasilannya tiap hari tak menentu, antara 75 sampai 100 ribu rupiah. Alhasil, temannya tersebut bangkrut dan sekarang sudah pulang kampung ke Madura dan mulai melakukan bisnis lain di kampungnya. Dari cerita itu, saya mbatin dan penasaran, seberapa mahal sih harga kopi disebuah desa precil seperti Boro ini kok bolehnya membikin bangkrut seorang pedagang dari Madura yang terkenal ulet itu. Pengalaman saya ngopi di tempat-tempat wajar nan legend di Tulungagung, seperti Mak Tin dan Kopi Waris harga sak-cangkir-nya antara 2000-3000 rupiah, masih lebih mahal harga secangkir kopi di Blandongan ataupun Mato, di Jogja sono. Hem..
Setelah mengingat-ingat patahan cerita Cak Saniri, kami akhirnya tiba di pelataran Warung Kopi Rumah Tua. Lokasinya ada ditengah-tengah perkampungan penduduk, untuk sampai kesana kita harus melewati gang kecil yang tak cukup dilewati mobil. Di samping muka gang, saya lihat ada sebuah rumah dengan halaman luas. Di dinding rumah itu ada kertas tertempel tulisan; Parkir 3000. Dalam bayangan saya, mungkin halaman rumah ini memang dikhusukan untuk parkir mobil-mobil pengunjung Rumah Tua. Tapi siang itu memang tak ada mobil yang terparkir. Sementara kami memarkir motor tepat di kompleks Rumah Tua. Hanya ada sekitar 3-4 motor waktu kami tiba dengan pengunjung tak lebih dari 7 orang. Masih sangat sepi untuk ukuran warung kopi karena lebih dari separo dari bangku-bangku di warung itu belum terisi manusia.
Saya merekam ingatan pada sudut-sudut warung itu. Di ruang utama, ada banner raksasa bertuliskan “Warkop RT Boro” lengkap dengan gambar delapan orang cewek yang tak lain adalah barista-nya. Di ruang itu ada dapur kecil tempat mengolah kopi dan makanan, meja kasir, dan sound-system yang tak pernah berhenti memutar dendang koplo. Diluar itu ada ruangan beratap dengan deretan meja dan kursi berbahan cor balok semen. Didekat tempat parkir ada ruangan yang lebih terbuka, tanpa atap tapi dengan jenis kursi dan meja yang sama. Setelah memesan dua cangkir kopi susu dan segelas es teh, kami memilih duduk di ruangan yang lebih terbuka, sementara pengunjung lain yang masih segelintir itu ada di ruang satunya dengan atap.
Bayangan saya sebelumnya bahwa bangunan ini seperti deretan rumah-rumah indies di kompleks Ijen Boulevard, Malang atau Warkop Legi Pait di daerah Klojen, Malang ternyata tak saya temukan bentuknya. Tak ada kesan rumah tua pada warung ini. Sejurus kemudian, sapaan lembut seorang pelayan membuyarkan lamunan saya: “ojo ndek kono, mas, panas.., pindah mrene loh, adem”. Betapa gagok-nya kami mendapat sapaan pelayan itu, alih-alih melakukan pengamatan sosial dan in-depth interview. Haisyy.., ra pantess blass.. dan kami akhirnya pindah ke ruang beratap itu.
Sambil menunggu pesanan kopi, saya mengamati bagaimana para pelayan itu bekerja. Seorang pelayan sedang bercengkrama asyik dengan tiga orang pengunjung dengan satu meja. Sesekali dalam obrolan, si pelayan menyandarkan bahunya pada salah seorang pemuda di meja itu. Tak berselang lama, si pelayan itu tiduran di pangkuan seorang cowok. Pelayan yang lain sedang asyik memijeti leher seorang bapak yang saya taksir usianya 40-an. Dua-duanya sangat akrab, saling memanggil namanya masing-masing, mungkin si bapak adalah pelanggan warung kopi ini. Dan pesanan kami pun jadi, dua cangkir kopi dan segelas es teh ukuran jumbo. Pelayanannya adalah seorang perempuan masih sangat muda, sekitar 20an tahun. Tanpa kami persilahkan, ia duduk disebelah Lantip. Dan obrolan klise-pun dimulai.
“sudah berapa lama disini, mbak?” pertanyaan pembuka terlontar hampir berbarengan.
“tiga bulan mas” jawab si perempuan
“asalnya mana, mbak?”
“Dampit, mas”
“Malang?”
“Iya”
Sambil terus mengobrol ngalor-ngidul, Lantip menawarkan es teh yang belum kami sentuh itu untuk diminum si Mbak-nya. Tanpa basa-basi si Mbak tak menolak pemberian itu. Ia meminum es teh yang ia bikin sendiri. Kemudian saya mengamati seorang pengunjung berjalan ke arah kasir, seorang pria sekitaran 45 tahun. Di loket kasir ia bertanya: “berapa”? Seorang pelayan merinci pesanan si pria itu: “satu soda pake susu,..dua puluh ribu, pak” jawab si pelayan itu tangkas.. Setelah menyerahkan selembar 20puluh ribuaan pria itupun pergi. Saya lihat wajah si pria tampak cemberut dan setengah tak percaya dengan harga yang harus ia bayar, mungkin juga baru pertama kali njajal kopi RT ini. Tak lama kemudian saya mengamati tiga orang pemuda yang bersebelahan dengan meja kami hendak membayar pesanannya. Tapi mereka tak beranjak ke loket kasir.
Mereka menyerahkan uang selembar 50 puluh ribuan langsung kepada pelayan yang sedari tadi mendampingi mereka, tanpa susuk atau kembalian, sekaligus tanpa memasang wajah cemberut seperti pria yang saya perhatikan sebelumnya. Saya lihat di meja mereka ada tiga cangkir kopi plus dua gelas es teh, dan mereka membayarnya dengan selembar 50puluh ribu tanpa susuk. Elok tenan. Saya mulai menghitung-hitung ongkos yang harus saya bayar untuk dua cangkir kopi susu dan segelas es teh. Dalam perkiraaan hitungan normal, harga yang harus saya bayar tak kan lebih dari sepuluh ribu. Tapi itu kan harga normal di warung-warung kopi non-pangku, maka saya harus siap dengan segala kemungkinan, dengan fluktuasi harga yang diluar jangkauan saya dan Lantip. Saya ingat pesan Cak Saniri, bayar dengan uang pas! Ya, uang pas, tapi pasnya itu berapa loh, Cak? Lantip berbisik kepada saya, “siapkan 20puluh ewu, Jhon!”.
Kopi kami hampir habis. Seorang cewek pelayan yang menemani kami sudah pindah meja dan sekarang berganti pelayan lain yang sebelumnya ia ada di meja seberang tengah memijati seorang pria. Ia bercelana jeans pendek, sepaha. Tampak sebuah gambar tattoo di pahanya yang lebar itu, tattoo juga ada lengan kirinya. Ia membawa rokok Marlbloro, korek, dan sebuah kotak seperti HP yang isinya ternyata make-up (bedak) dan cermin. Saya perhatikan beberapa pelayan membawa barang yang sama dan dengan gaya dan penampilan yang sama lekoh-nya. Sama dengan pelayan sebelumnya, kami memulai dengan obrolan klise yang mungkin sangat membosankan bagi yang kami tanyai. Entah sudah berapa kali ia mendengar pertanyaan: dari mana mbak? Sudah berapa lama kerja disini? Dan bla..bla..bla.. Saya dan Lantip tak kunjung menemukan mood yang asyik untuk mengobrol lebih jauh tentang fenomena warung kopi pangku ini. Setelah tegukan kopi terakhir, saya bertanya:
“berapa semua, mbak?”.
“kopi dua, es teh satu, 18 ribu mas..”
Saya membayar dengan selembar 20 ribuan. Saya sengaja menunggu sebentar. dan memang tak ada kembalian 2 ribu rupiah itu. Saya hanya mendapat susuk senyuman manis dari si mbak dan ucapan terimakasih. Kami membalasnya, “suwun mbak yo..”. Dalam hati saya teringat cerita Cak Saniri tentang ihwal kebangkrutan kawan sekampungnya; semalam ngopi 3x di warkop-pangku dengan rata-rata menghabiskan budget 50an ribu rupiah dengan penghasilan bersih per hari antara 75 sampai 100 ribu rupiah; opo ora edan yee, rumangsamu???
Motor melaju ke arah yang hawa-hawanya semakin mendekati kota. Kami melewati Kali Ngrowo dan melewati bendungan (PAM) Majan. Sepanjang kali itu saya melihat beberapa penduduk membenahi jaring slambu-nya, sebuah alat penangkap ikan yang khas dan tak tahu saya mekanisme kok bisa-bisanya ikan sudah berada di jaring/slambu yang dipasang melebar itu, padahal tak ada yang seorangpun yang menariknya. Berdasarkan keterangan Lantip, si local guide saya, yang sangat menguasai betul persoalan tentang sejarah kali, sungai, atau bendungan, tersebutlah bahwa Kali Ngrowo adalah kali yang dibangun para romusha di jaman Jepang untuk mengantisipasi banjir sungai Brantas. Lantip memang pernah menulis skripsi tentang politik parit raya dan sejarah banjir di Tulungagung. Pemahamannya tentang babakan banjir di Tulungagung diluar kepala.
Setelah melewati Jembatan Lembu Peteng, kami berhenti di deretan warung kopi, masih di pinggiran Kali Ngrowo. Orang-orang menyebutnya warung kopi Sor Trembesi, karena tepat diatas deretan warung kopi itu berdiri kokoh pohon trembesi tua, yang rindang, dan daun-daunnya yang kering berguguran terhampar di genteng warung-warung itu. Semua tampak jelas jika dilihat dari seberang jalan warung, disebuah meja dengan beberapa kursi dengan payung besar yang kami putuskan untuk jadi tempat njagong. Posisi tempat kami njagong itu persis di pinggir Kali Ngrowo, suasana begitu mat, adem, dengan semriwing angin yang meneduhkan.
Lantip memesan es jeruk dan beberapa potong gorengan, saya memesan secangkir kopi ijo (untuk mendapatkan nuansaTulungagung, saya terpaksa harus icip-icip kopi ijo, betapapun lidah saya lebih akrab dengan kopi hitam murni). Semuanya tak lebih dari 10 ribu, kali ini giliran Lantip yang mentraktir. Kala itu Warkop Sor Trembesi sedang ramai-ramainya. Beberapa pengunjung tampak mengantri untuk sekedar mendapatkan minuman pesanannya. Pengunjung lain menikmati kopi dan dan asyik-masyuk dengan obrolan. Saya juga memulai obrolan tak penting dengan Lantip, si tengkes yang masih jomblo itu, padahal sudah master, UGM lagi. Ditengah obrolan itu, Lantip bertanya: “piye Jhon, sido nang Kopi Waris opo Mak Tin”? Pertanyaan basa-basi tapi cukup menggoda untuk merubah jadwal kepulangan saya.
Berkunjung ke Tulungagung memang kurang afdhol tanpa mengunjungi dua warkop legend itu, warkop dengan sajian khasnya berupa kopi ijo dan es tape (Sekali lagi saya lebih doyan yang kedua dari pada yang pertama). Saya bergeming dengan godaan itu. Tak lama kemudian saya ajak Lantip bergegas ke kota, memburu tiket kereta ke Surabaya. Kunjungan ke Tulungagung kali ini cukup menjawab rasa penasaran saya, bahwa wajah perwarungkopian di Tulungagung memang bipolar, antara kemasyhuran kopi ijo dan kopi pangku; sama-sama menyajikan kopi tapi berbeda harga dan kenikmatannya.
Saya kemudian bertanya dengan nada memvonis; “kalau mobilnya orang Islam apa juga dicuri ya, Cak?”. Ia menjawab agak malu-malu; “tidak”. Saya kemudian berpikir, jangan-jangan ini soal sesat pikir soal konsep “kafir” di kalangan awam Madura. Oke, baiklah. Meskipun tema ini menarik, saya simpan rasa penasaran saya dan membuka lembar obrolan baru tentang fenomena warung kopi di Tulungagung. Di benak Saniri dan Romlah, Warung Kopi (Warkop) dipersepsikan tak lebih sebagai tempat hura-hura sesaat dan tempat menghabiskan uang.
Bicara fenomena warkop di Tulungagung, ada dua frasa yang masyhur di telinga saya; kopi ijo dan kopi pangku. Yang pertama bisa dimaknai sebagai salah satu varian kopi “oplosan” lokal yang sangat khas di Tulungagung dan terkenal bagi kalangan pecinta kopi di Jawa Timuran. Yang kedua, tentu saja ini bukan varian kopi, tapi satu istilah lokal yang merujuk pada fenomena coffee barista (khususnya pelayan perempuan) di beberapa warung kopi di Tulungagung. Saya tak begitu tertarik dengan rasa yang ditawarkan kopi ijo. Beberapa tahun kepungkur, sewaktu diajak seorang kawan untuk menikmati kopi ijo pertama kali di sebuah warung kopi di Malang, saya meledeknya: mending makan bubur kacang ijo-nya langsung lebih enak, dari pada dicampur kopi yang bikin rasanya tak jelas seperti ini. Kawan saya tak menggubris. Lahap betul ia menikmati secangkir kopi dengan anasir rasa seperti kacang ijo itu.
Sabtu, menjelang siang saya berangkat dengan Lantip, kawan asal Ngantru yang sudah saya kenal sejak beberapa tahun lalu. Dari dusunnya Lantip di Lemah Duwur, Desa Bathokan, Kecamatan Ngantru, saya berjumpa dengan banyak warung kopi, ada sekitar 8 warung kopi yang sempat saya hitung dengan jarak yang relatif dekat, antara 500 meter sampai 1 km, ini dalam lingkup dusun loh. Motor terus melaju ke arah Kedungwaru, sebuah kecamatan pinggiran sebelum memasuki kota Tulungagung. Memasuki desa Ngujang, Lantip membelokan motornya melewati sawah-sawah dengan tanaman tebu menjulang di kanan kirinya. Sampai disebuah perkampungan, Lantip memelankan laju motornya, kami melihat ke sisi kanan, berderet rapi disitu beberapa warung kopi yang menyatu dengan rumah-rumah penduduk.
Pengunjung warkop masih sepi, saya melihat beberapa perempuan ada di dalam warung, berpenampilan agak minor, dengan setelan tank-top dan celana jeans ketat. Tampak juga seorang perempuan yang tengah asyik berdandan. Seorang perempuan lagi dengan perawakan agak gendut sedang berduduk santai, dan menatap ke arah kami seolah-olah hendak menyapa dan mengajak mampir. Tapi motor tetap melaju pelan. Keluar dari perkampungan itu, Lantip berbisik lirih; “iku Jhon, sing jenenge lokalisasi Ngujang, tapi saiki wes sepi” (Itu Jhon, yang namanya Lokasisasi Ngujang, tapi sekarang sudah sepi”).
Lepas dari Ngujang, motor melaju ke arah desa Boro, masih dalam wilayah kecamatan Kedungwaru. Di desa Boro ini terdapat warung kopi namanya Rumah Tua atau yang mashur di telinga pecinta kopi dengan istilah “RT”. Lantip belum tahu lokasi persisnya. Ketika berpapasan dengan seorang pemuda, Lantip menghentikan motornya dan bertanya:
“Mas, nuwunsewu, ngertos warung kopi Rumah Tua nggeh”?
“RT to, Mas?” pemuda itu balik bertanya.
“Enggeh” jawab Lantip.
Pemuda itu kemudian memberi petunjuk. Lokasinya memang cukup dekat, mungkin tinggal sak-rokoan. Sebelum berpamitan, ia meng-grundel.
“Owalah, ngopi kok disitu, mas.”.
“kenapa mas?” tanya saya
“kopine larang mas, tur ra penak” jawabnya.
Mendengar nggrundelan si Pemuda, saya teringat nasehat Romlah, isteri Cak Saniri, yang kami bertemu sehari sebelumnya di depan pasar Ngantru. Disela-sela obrolan gayeng dengan Cak Saniri, isterinya nyeletuk dalam Madura: “poko’en je’ ngopi edissa’ le’, deggi’ mato kakeh” (pokoknya jangan ngopi disitu, dik, nanti kamu ketagihan). Nasehat seperti itu sesungguhnya sudah tersirat dalam obrolan saya dengan suaminya. Dalam cerita panjangnya, Cak Saniri bertutur tentang pengalaman pahit beberapa kawan-kawannya sesama perantau di Tulungagung, dari residivis pencurian mobil di Malang yang buron dan akhirnya tertangkap di Tulungagung, sampai cerita tentang kawan-kawannya yang bangkrut berdagang gara-gara kebiasaan “ngopi” ditempat-tempat “seperti itu”.
“Ngopi ditempat-tempat seperti itu” ini menjadi deret frasa yang cukup memancing saya untuk mengulik cerita lanjutan. Lha, kami ini kan penikmat kopi cum pengamat sosial (amatiran) je. Cak Saniri menjelaskan duduk perkaranya. Rekan-rekannya yang relatif lebih muda, sebagian sudah beristri itu punya kebiasaan ngopi di tempat “seperti itu” (kopi pangku, dalam tafsiran saya). Semalam mereka bisa ngopi di dua sampai tiga warung kopi. Begitu terus hampir tiap malam. Lebih jauh dia bercerita tentang seorang temannya yang berprofesi sebagai penjual sandang (baju dan celana) keliling. Menurut Cak Saniri, temannya tersebut semalam biasa ngopi di tiga tempat berbeda, dengan menghabiskan uang antara 50 ribu sampai 75 ribu rupiah semalam hanya untuk ngopi dan mentraktir teman-temannya yang lain. Padahal penghasilannya tiap hari tak menentu, antara 75 sampai 100 ribu rupiah. Alhasil, temannya tersebut bangkrut dan sekarang sudah pulang kampung ke Madura dan mulai melakukan bisnis lain di kampungnya. Dari cerita itu, saya mbatin dan penasaran, seberapa mahal sih harga kopi disebuah desa precil seperti Boro ini kok bolehnya membikin bangkrut seorang pedagang dari Madura yang terkenal ulet itu. Pengalaman saya ngopi di tempat-tempat wajar nan legend di Tulungagung, seperti Mak Tin dan Kopi Waris harga sak-cangkir-nya antara 2000-3000 rupiah, masih lebih mahal harga secangkir kopi di Blandongan ataupun Mato, di Jogja sono. Hem..
Setelah mengingat-ingat patahan cerita Cak Saniri, kami akhirnya tiba di pelataran Warung Kopi Rumah Tua. Lokasinya ada ditengah-tengah perkampungan penduduk, untuk sampai kesana kita harus melewati gang kecil yang tak cukup dilewati mobil. Di samping muka gang, saya lihat ada sebuah rumah dengan halaman luas. Di dinding rumah itu ada kertas tertempel tulisan; Parkir 3000. Dalam bayangan saya, mungkin halaman rumah ini memang dikhusukan untuk parkir mobil-mobil pengunjung Rumah Tua. Tapi siang itu memang tak ada mobil yang terparkir. Sementara kami memarkir motor tepat di kompleks Rumah Tua. Hanya ada sekitar 3-4 motor waktu kami tiba dengan pengunjung tak lebih dari 7 orang. Masih sangat sepi untuk ukuran warung kopi karena lebih dari separo dari bangku-bangku di warung itu belum terisi manusia.
Saya merekam ingatan pada sudut-sudut warung itu. Di ruang utama, ada banner raksasa bertuliskan “Warkop RT Boro” lengkap dengan gambar delapan orang cewek yang tak lain adalah barista-nya. Di ruang itu ada dapur kecil tempat mengolah kopi dan makanan, meja kasir, dan sound-system yang tak pernah berhenti memutar dendang koplo. Diluar itu ada ruangan beratap dengan deretan meja dan kursi berbahan cor balok semen. Didekat tempat parkir ada ruangan yang lebih terbuka, tanpa atap tapi dengan jenis kursi dan meja yang sama. Setelah memesan dua cangkir kopi susu dan segelas es teh, kami memilih duduk di ruangan yang lebih terbuka, sementara pengunjung lain yang masih segelintir itu ada di ruang satunya dengan atap.
Bayangan saya sebelumnya bahwa bangunan ini seperti deretan rumah-rumah indies di kompleks Ijen Boulevard, Malang atau Warkop Legi Pait di daerah Klojen, Malang ternyata tak saya temukan bentuknya. Tak ada kesan rumah tua pada warung ini. Sejurus kemudian, sapaan lembut seorang pelayan membuyarkan lamunan saya: “ojo ndek kono, mas, panas.., pindah mrene loh, adem”. Betapa gagok-nya kami mendapat sapaan pelayan itu, alih-alih melakukan pengamatan sosial dan in-depth interview. Haisyy.., ra pantess blass.. dan kami akhirnya pindah ke ruang beratap itu.
Sambil menunggu pesanan kopi, saya mengamati bagaimana para pelayan itu bekerja. Seorang pelayan sedang bercengkrama asyik dengan tiga orang pengunjung dengan satu meja. Sesekali dalam obrolan, si pelayan menyandarkan bahunya pada salah seorang pemuda di meja itu. Tak berselang lama, si pelayan itu tiduran di pangkuan seorang cowok. Pelayan yang lain sedang asyik memijeti leher seorang bapak yang saya taksir usianya 40-an. Dua-duanya sangat akrab, saling memanggil namanya masing-masing, mungkin si bapak adalah pelanggan warung kopi ini. Dan pesanan kami pun jadi, dua cangkir kopi dan segelas es teh ukuran jumbo. Pelayanannya adalah seorang perempuan masih sangat muda, sekitar 20an tahun. Tanpa kami persilahkan, ia duduk disebelah Lantip. Dan obrolan klise-pun dimulai.
“sudah berapa lama disini, mbak?” pertanyaan pembuka terlontar hampir berbarengan.
“tiga bulan mas” jawab si perempuan
“asalnya mana, mbak?”
“Dampit, mas”
“Malang?”
“Iya”
Sambil terus mengobrol ngalor-ngidul, Lantip menawarkan es teh yang belum kami sentuh itu untuk diminum si Mbak-nya. Tanpa basa-basi si Mbak tak menolak pemberian itu. Ia meminum es teh yang ia bikin sendiri. Kemudian saya mengamati seorang pengunjung berjalan ke arah kasir, seorang pria sekitaran 45 tahun. Di loket kasir ia bertanya: “berapa”? Seorang pelayan merinci pesanan si pria itu: “satu soda pake susu,..dua puluh ribu, pak” jawab si pelayan itu tangkas.. Setelah menyerahkan selembar 20puluh ribuaan pria itupun pergi. Saya lihat wajah si pria tampak cemberut dan setengah tak percaya dengan harga yang harus ia bayar, mungkin juga baru pertama kali njajal kopi RT ini. Tak lama kemudian saya mengamati tiga orang pemuda yang bersebelahan dengan meja kami hendak membayar pesanannya. Tapi mereka tak beranjak ke loket kasir.
Mereka menyerahkan uang selembar 50 puluh ribuan langsung kepada pelayan yang sedari tadi mendampingi mereka, tanpa susuk atau kembalian, sekaligus tanpa memasang wajah cemberut seperti pria yang saya perhatikan sebelumnya. Saya lihat di meja mereka ada tiga cangkir kopi plus dua gelas es teh, dan mereka membayarnya dengan selembar 50puluh ribu tanpa susuk. Elok tenan. Saya mulai menghitung-hitung ongkos yang harus saya bayar untuk dua cangkir kopi susu dan segelas es teh. Dalam perkiraaan hitungan normal, harga yang harus saya bayar tak kan lebih dari sepuluh ribu. Tapi itu kan harga normal di warung-warung kopi non-pangku, maka saya harus siap dengan segala kemungkinan, dengan fluktuasi harga yang diluar jangkauan saya dan Lantip. Saya ingat pesan Cak Saniri, bayar dengan uang pas! Ya, uang pas, tapi pasnya itu berapa loh, Cak? Lantip berbisik kepada saya, “siapkan 20puluh ewu, Jhon!”.
Kopi kami hampir habis. Seorang cewek pelayan yang menemani kami sudah pindah meja dan sekarang berganti pelayan lain yang sebelumnya ia ada di meja seberang tengah memijati seorang pria. Ia bercelana jeans pendek, sepaha. Tampak sebuah gambar tattoo di pahanya yang lebar itu, tattoo juga ada lengan kirinya. Ia membawa rokok Marlbloro, korek, dan sebuah kotak seperti HP yang isinya ternyata make-up (bedak) dan cermin. Saya perhatikan beberapa pelayan membawa barang yang sama dan dengan gaya dan penampilan yang sama lekoh-nya. Sama dengan pelayan sebelumnya, kami memulai dengan obrolan klise yang mungkin sangat membosankan bagi yang kami tanyai. Entah sudah berapa kali ia mendengar pertanyaan: dari mana mbak? Sudah berapa lama kerja disini? Dan bla..bla..bla.. Saya dan Lantip tak kunjung menemukan mood yang asyik untuk mengobrol lebih jauh tentang fenomena warung kopi pangku ini. Setelah tegukan kopi terakhir, saya bertanya:
“berapa semua, mbak?”.
“kopi dua, es teh satu, 18 ribu mas..”
Saya membayar dengan selembar 20 ribuan. Saya sengaja menunggu sebentar. dan memang tak ada kembalian 2 ribu rupiah itu. Saya hanya mendapat susuk senyuman manis dari si mbak dan ucapan terimakasih. Kami membalasnya, “suwun mbak yo..”. Dalam hati saya teringat cerita Cak Saniri tentang ihwal kebangkrutan kawan sekampungnya; semalam ngopi 3x di warkop-pangku dengan rata-rata menghabiskan budget 50an ribu rupiah dengan penghasilan bersih per hari antara 75 sampai 100 ribu rupiah; opo ora edan yee, rumangsamu???
Motor melaju ke arah yang hawa-hawanya semakin mendekati kota. Kami melewati Kali Ngrowo dan melewati bendungan (PAM) Majan. Sepanjang kali itu saya melihat beberapa penduduk membenahi jaring slambu-nya, sebuah alat penangkap ikan yang khas dan tak tahu saya mekanisme kok bisa-bisanya ikan sudah berada di jaring/slambu yang dipasang melebar itu, padahal tak ada yang seorangpun yang menariknya. Berdasarkan keterangan Lantip, si local guide saya, yang sangat menguasai betul persoalan tentang sejarah kali, sungai, atau bendungan, tersebutlah bahwa Kali Ngrowo adalah kali yang dibangun para romusha di jaman Jepang untuk mengantisipasi banjir sungai Brantas. Lantip memang pernah menulis skripsi tentang politik parit raya dan sejarah banjir di Tulungagung. Pemahamannya tentang babakan banjir di Tulungagung diluar kepala.
Setelah melewati Jembatan Lembu Peteng, kami berhenti di deretan warung kopi, masih di pinggiran Kali Ngrowo. Orang-orang menyebutnya warung kopi Sor Trembesi, karena tepat diatas deretan warung kopi itu berdiri kokoh pohon trembesi tua, yang rindang, dan daun-daunnya yang kering berguguran terhampar di genteng warung-warung itu. Semua tampak jelas jika dilihat dari seberang jalan warung, disebuah meja dengan beberapa kursi dengan payung besar yang kami putuskan untuk jadi tempat njagong. Posisi tempat kami njagong itu persis di pinggir Kali Ngrowo, suasana begitu mat, adem, dengan semriwing angin yang meneduhkan.
Lantip memesan es jeruk dan beberapa potong gorengan, saya memesan secangkir kopi ijo (untuk mendapatkan nuansaTulungagung, saya terpaksa harus icip-icip kopi ijo, betapapun lidah saya lebih akrab dengan kopi hitam murni). Semuanya tak lebih dari 10 ribu, kali ini giliran Lantip yang mentraktir. Kala itu Warkop Sor Trembesi sedang ramai-ramainya. Beberapa pengunjung tampak mengantri untuk sekedar mendapatkan minuman pesanannya. Pengunjung lain menikmati kopi dan dan asyik-masyuk dengan obrolan. Saya juga memulai obrolan tak penting dengan Lantip, si tengkes yang masih jomblo itu, padahal sudah master, UGM lagi. Ditengah obrolan itu, Lantip bertanya: “piye Jhon, sido nang Kopi Waris opo Mak Tin”? Pertanyaan basa-basi tapi cukup menggoda untuk merubah jadwal kepulangan saya.
Berkunjung ke Tulungagung memang kurang afdhol tanpa mengunjungi dua warkop legend itu, warkop dengan sajian khasnya berupa kopi ijo dan es tape (Sekali lagi saya lebih doyan yang kedua dari pada yang pertama). Saya bergeming dengan godaan itu. Tak lama kemudian saya ajak Lantip bergegas ke kota, memburu tiket kereta ke Surabaya. Kunjungan ke Tulungagung kali ini cukup menjawab rasa penasaran saya, bahwa wajah perwarungkopian di Tulungagung memang bipolar, antara kemasyhuran kopi ijo dan kopi pangku; sama-sama menyajikan kopi tapi berbeda harga dan kenikmatannya.
Post a Comment