Dubes RI Pertanyakan Sikap Mesir Deportasi 18 Mahasiswa WNI
Pemerintah Mesir telah melakukan deportasi 18 mahasiswa Indonesia sejauh ini. Namun Dubes RI di Kairo mengaku kesulitan menemukan keterkaitan para mahasiswa itu dengan radikalisme. Seorang tokoh mahasiswa Indonesia menyebut, yang dideportasi itu karena saat aparat Mesir melakukan razia para mahasiswa itu berada di daerah oposisi atau daerah yang diawasi pemerintah. Duta Besar Indonesia di Kairo, Helmy Fauzi, mempertanyakan alasan penangkapan dan pengusiran itu. Kalau memang alasan ‘keamanan nasional Mesir,’ bahwa mereka terlibat dalam kelompok-kelompok atau kegiatan yang mengarah pada radikal atau ekstrem, kami tidak pernah diberitahu secara rinci. Apa, di mana, dengan siapa mereka berhubungan?” kata Helmy.
Yang menarik, riset Lowy Institute dan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pada 2016 menyimpulkan, sebagian besar mahasiswa Indonesia di Mesir adalah Muslim moderat yang justru berlawanan dengan kelompok radikal seperti ISIS. Nava Nuraniyah, seorang peneliti IPAC menyebut, pemerintah Mesir menggunakan tuduhan radikal dan pelabelan teroris untuk kepentingan politik mereka sendiri.
“Di Mesir, ada yang oposisi pakai jargon Islam sering dianggap teroris karena dia oposisi. Jadi pelabelan teroris di Mesir agak bias,” katanya.
Sejak keadaan darurat diberlakukan di mesir, awal tahun ini, puluhan mahasiswa Indonesia terkena razia, dan setidaknya 18 orang dideportasi. Kejadian terakhir terjadi pada pertengahan November lalu. Lima mahasiswa Indonesia ditahan aparat Mesir, dan empat orang di antaranya telah dideportasi dan seorang lain masih ditahan, yaitu Muhammad Fitrah Nur Akbar. Menurut Dubes RI, Helmy Fauzi, Muhammad Fitrah Nur Akbar ditangkap saat razia warga negara asing yang dilakukan aparat keamanan. Fitrah, lanjut Helmy, memiliki paspor dan izin tinggal yang masih berlaku.
Dubes Indonesia di Mesir, Helmy Fauzi mengatakan, minimnya keterangan dari aparat mesir membuat mereka melakukan pengkajian sendiri.
[caption id="attachment_1599" align="alignnone" width="960"] Sumber Foto: ma-nurulislam.sch.id[/caption]
“Ada mahasiswa yang belajar dengan syekhyang tidak terafiliasi dengan Universitas Al Azhar. Dan dianggap itu adalah kegiatan yang membahayakan kepentingan nasional Mesir. Mereka dituduh berhubungan dengan kelompok radikal atau ekstrem,” kata Helmy.
Beberapa kasus penangkapan di Kota Samanoud, lanjutnya, jelas sekali indikasinya.
“Mereka (sejumlah mahasiswa Indonesia) berguru kepada syekh-syekh atau ulama-ulama yang tidak sejalan dengan mazhab Al Azhar,” ujarnya, merujuk pada ajaran Salafi.
Helmy menerangkan bahwa rangkaian penangkapan warga negara asing dimulai sejak Mesir memberlakukan keadaan darurat pada April 2017 yang diperpanjang mulai 13 Oktober 2017 hingga Desember 2017. Ketua Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Mesir, Pangeran Arsyad, mengungkapkan hal senada.
“Aparat Mesir sering melakukan razia untuk mengantisipasi kemungkinan adanya penyusupan,” katanya. “Tahun ini banyak mahasiswa Indonesia yang dideportasi, bukan karena mereka terlibat organisasi teroris, tapi mereka berada di daerah oposisi, atau daerah yang diawasi pemerintah,” kata Pangeran. Dia kemudian menyebut Samanoud. Di kota itu terdapat enam mahasiswa Indonesia yang dideportasi karena, menurutnya, kota itu banyak dihuni kalangan Salafi “yang berseberangan dengan garis politik pemerintah Mesir”.
Sikap aparat Mesir seperti itu tidaklah asing bagi Taufik Damas, alumni Universitas Al Azhar yang kini menjabat wakil katib syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta. Saat berkuliah di sana, dia mengenang seorang rekannya yang terpengaruh gerakan radikal di Mesir.
“Pengaruhnya belum terlalu jauh, tapi sudah terdeteksi oleh intelijen era Presiden Hosni Mubarak. Pengawasan di sana sangat ketat, sehingga teman yang baru diindikasikan bergaul dengan orang Mesir yang radikal, sudah diciduk oleh pihak keamanan Mesir,” kenangnya.
Dalam riset lembaga kajian Lowy Institute dan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pada 2016, disimpulkan bahwa sebagian besar dari hampir 5.000 mahasiswa Indonesia di Mesir adalah Muslim moderat yang justru berlawanan dengan ideologi kelompok ISIS. Nava Nuraniyah, peneliti IPAC menyebut, jumlah mahasiswa yang teradikalisasi di mesir, sangat minim. Menurut Nava, memang ada kasus Wildan Mukhollad, mahasiswa Indonesia di Mesir yang pada 2013 berangkat ke Suriah untuk bertempur membela ISIS.
Namun Nava menegaskan, kasus itu sangat langka dan tidak bisa digunakan untuk menggeneralisasikan ribuan mahasiswa Indonesia di Mesir.
“Secara garis besar, mahasiswa Indonesia di Mesir adalah moderat,” ujarnya.
Adapun pendeportasian 18 mahasiswa Indonesia sepanjang tahun 2017, Nava mengingatkan untuk mencermati kasus mereka satu demi satu.
“Kalau misalnya ada yang teradikalisasi, dilihat dulu kelompoknya. Apakah Ikhwanul Muslimin, Salafi, atau ISIS?”
Menurut Nava, hal itu penting karena pemerintah Mesir melaukan pelabelan teroris untuk kepentingan politik praktis.
“Konteks (teroris) beda di Mesir. Ada orangd ari kelompok oposisi, pakai jargon Islam tapi dianggap teroris karena dia berada di pihak oposisi. Jadi pelabelan teroris di Mesir agak bias,” tutupnya.
Data KBRI di Kairo memperlihatkan jumlah WNI di Mesir per Oktober 2017 mencapai 7.594 orang. Dari jumlah tersebut, 4.975 di antara mereka adalah mahasiswa.
Sumber: BBC
Yang menarik, riset Lowy Institute dan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pada 2016 menyimpulkan, sebagian besar mahasiswa Indonesia di Mesir adalah Muslim moderat yang justru berlawanan dengan kelompok radikal seperti ISIS. Nava Nuraniyah, seorang peneliti IPAC menyebut, pemerintah Mesir menggunakan tuduhan radikal dan pelabelan teroris untuk kepentingan politik mereka sendiri.
“Di Mesir, ada yang oposisi pakai jargon Islam sering dianggap teroris karena dia oposisi. Jadi pelabelan teroris di Mesir agak bias,” katanya.
Sejak keadaan darurat diberlakukan di mesir, awal tahun ini, puluhan mahasiswa Indonesia terkena razia, dan setidaknya 18 orang dideportasi. Kejadian terakhir terjadi pada pertengahan November lalu. Lima mahasiswa Indonesia ditahan aparat Mesir, dan empat orang di antaranya telah dideportasi dan seorang lain masih ditahan, yaitu Muhammad Fitrah Nur Akbar. Menurut Dubes RI, Helmy Fauzi, Muhammad Fitrah Nur Akbar ditangkap saat razia warga negara asing yang dilakukan aparat keamanan. Fitrah, lanjut Helmy, memiliki paspor dan izin tinggal yang masih berlaku.
Dubes Indonesia di Mesir, Helmy Fauzi mengatakan, minimnya keterangan dari aparat mesir membuat mereka melakukan pengkajian sendiri.
[caption id="attachment_1599" align="alignnone" width="960"] Sumber Foto: ma-nurulislam.sch.id[/caption]
“Ada mahasiswa yang belajar dengan syekhyang tidak terafiliasi dengan Universitas Al Azhar. Dan dianggap itu adalah kegiatan yang membahayakan kepentingan nasional Mesir. Mereka dituduh berhubungan dengan kelompok radikal atau ekstrem,” kata Helmy.
Beberapa kasus penangkapan di Kota Samanoud, lanjutnya, jelas sekali indikasinya.
“Mereka (sejumlah mahasiswa Indonesia) berguru kepada syekh-syekh atau ulama-ulama yang tidak sejalan dengan mazhab Al Azhar,” ujarnya, merujuk pada ajaran Salafi.
Helmy menerangkan bahwa rangkaian penangkapan warga negara asing dimulai sejak Mesir memberlakukan keadaan darurat pada April 2017 yang diperpanjang mulai 13 Oktober 2017 hingga Desember 2017. Ketua Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Mesir, Pangeran Arsyad, mengungkapkan hal senada.
“Aparat Mesir sering melakukan razia untuk mengantisipasi kemungkinan adanya penyusupan,” katanya. “Tahun ini banyak mahasiswa Indonesia yang dideportasi, bukan karena mereka terlibat organisasi teroris, tapi mereka berada di daerah oposisi, atau daerah yang diawasi pemerintah,” kata Pangeran. Dia kemudian menyebut Samanoud. Di kota itu terdapat enam mahasiswa Indonesia yang dideportasi karena, menurutnya, kota itu banyak dihuni kalangan Salafi “yang berseberangan dengan garis politik pemerintah Mesir”.
Sikap aparat Mesir seperti itu tidaklah asing bagi Taufik Damas, alumni Universitas Al Azhar yang kini menjabat wakil katib syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta. Saat berkuliah di sana, dia mengenang seorang rekannya yang terpengaruh gerakan radikal di Mesir.
“Pengaruhnya belum terlalu jauh, tapi sudah terdeteksi oleh intelijen era Presiden Hosni Mubarak. Pengawasan di sana sangat ketat, sehingga teman yang baru diindikasikan bergaul dengan orang Mesir yang radikal, sudah diciduk oleh pihak keamanan Mesir,” kenangnya.
Dalam riset lembaga kajian Lowy Institute dan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pada 2016, disimpulkan bahwa sebagian besar dari hampir 5.000 mahasiswa Indonesia di Mesir adalah Muslim moderat yang justru berlawanan dengan ideologi kelompok ISIS. Nava Nuraniyah, peneliti IPAC menyebut, jumlah mahasiswa yang teradikalisasi di mesir, sangat minim. Menurut Nava, memang ada kasus Wildan Mukhollad, mahasiswa Indonesia di Mesir yang pada 2013 berangkat ke Suriah untuk bertempur membela ISIS.
Namun Nava menegaskan, kasus itu sangat langka dan tidak bisa digunakan untuk menggeneralisasikan ribuan mahasiswa Indonesia di Mesir.
“Secara garis besar, mahasiswa Indonesia di Mesir adalah moderat,” ujarnya.
Adapun pendeportasian 18 mahasiswa Indonesia sepanjang tahun 2017, Nava mengingatkan untuk mencermati kasus mereka satu demi satu.
“Kalau misalnya ada yang teradikalisasi, dilihat dulu kelompoknya. Apakah Ikhwanul Muslimin, Salafi, atau ISIS?”
Menurut Nava, hal itu penting karena pemerintah Mesir melaukan pelabelan teroris untuk kepentingan politik praktis.
“Konteks (teroris) beda di Mesir. Ada orangd ari kelompok oposisi, pakai jargon Islam tapi dianggap teroris karena dia berada di pihak oposisi. Jadi pelabelan teroris di Mesir agak bias,” tutupnya.
Data KBRI di Kairo memperlihatkan jumlah WNI di Mesir per Oktober 2017 mencapai 7.594 orang. Dari jumlah tersebut, 4.975 di antara mereka adalah mahasiswa.
Sumber: BBC
Post a Comment