Kisah Nabi Ibrahim (Bagian ke-11): Kisah Perdebatan Ibrahim dengan Raja Namrud
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Allah menyebut kisah perdebatan kekasih-Nya bersama seorang raja lalim dan semena-mena yang mengaku tuhan. Ibrahim kemudian mematahkan argumennya, menjelaskan begitu bodohnya dia, dan begitu dangkal akalnya. Ibrahim mengalahkannya dengan hujah, dan menjelaskan jalan terang padanya.
Para ahli tafsir, ahli nasab dan sejarah menyebutkan, raja yang dimaksud adalah Raja Babilon, namanya Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Sam bin Nuh, seperti yang disampaikan Mujahid. Yang lain menyebut Namrud bin Falih bin Abir bin Shalih bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh.
Mujahid dan lainnya menyebutkan, “Ia adalah salah seorang raja dunia. Karena seperti yang disebutkan para ahli, hanya ada empat raja besar di dunia; dua di antaranya mukmin, dan dua lainnya kafir. Dua raja besar yang beriman adalah Dzul Qarnain dan Sulaiman, sementara dua raja besar yang kafir adalah Namrud dan Bukhtanashar.”
Para ahli menyebutkan, kekuasaan Namrud berlangsung selama 400 tahun. Ia bertindak semena-mena dan melampui batas, serta lebih mementingkan kehidupan dunia.
Ketika Ibrahim Al-Khalil menyeru Namrud untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada memiliki sekutu, kedunguan, kesesatan dan panjangnya angan Namrud mendorongnya untuk mengingkari Sang Pencipta. Namrud mendebat Ibrahim dalam hal itu, bahkan mengklaim dirinya tuhan. Saat Ibrahim Al-Khalil mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan’.”
Qatadah, As-Suddi dan Muhammad bin Ishaq menafsirkan, “Maksudnya, dua orang didatangkan, keduanya sudah dijatuhi hukuman salah satunya, dan memaafkan yang satunya lagi. Dengan tindakannya ini, ia seakan-akan menghidupkan salah satunya, dan membunuh yang satunya lagi.”
Kata-kata Namrud ini sama sekali tidak menentang hujah Ibrahim, justru menyimpang dari inti perdebatan, menimbulkan kekacauan dan jauh dari kenyataan. Jelasnya demikian, Ibrahim menyebut adanya Pencipta dan bukti adanya sebagai makhluk hidup dan mati yang bisa dilihat. Semua itu menunjukkan adanya pelaku utama (causa prima) dimana segala sesuatu bersandar pada-Nya dan tidak bisa berdiri sendiri. Pasti ada Pelaku terhadap semua makhluk yang ada, Pelaku yang menciptakan seluruh hewan yang bisa dilihat secara kasat mata kemudian setelah itu mematikan semuanya. Karena itu Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.”
Di raja dungu menjawab, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” Jika yang dimaksud bahwa dialah pelaku semua makhluk yang ada, berarti ia sombong dan membangkang. Dan jika yang dimaksud seperti dikatakan Qatadah, As-Suddi, dan Muhammad bin Ishaq, berarti si raja dungu tersebut mengatakan sesuatu yang sangat sekali tidak ada hubungannya dengan kata-kata Ibrahim, karena sama sekali tidak membantah bagian pembuka, juga tidak menentang dalil yang disampaikan Ibrahim.
“Apakah kamu tidak memerhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya, Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 258).
Allah menyebut kisah perdebatan kekasih-Nya bersama seorang raja lalim dan semena-mena yang mengaku tuhan. Ibrahim kemudian mematahkan argumennya, menjelaskan begitu bodohnya dia, dan begitu dangkal akalnya. Ibrahim mengalahkannya dengan hujah, dan menjelaskan jalan terang padanya.
Para ahli tafsir, ahli nasab dan sejarah menyebutkan, raja yang dimaksud adalah Raja Babilon, namanya Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Sam bin Nuh, seperti yang disampaikan Mujahid. Yang lain menyebut Namrud bin Falih bin Abir bin Shalih bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh.
Mujahid dan lainnya menyebutkan, “Ia adalah salah seorang raja dunia. Karena seperti yang disebutkan para ahli, hanya ada empat raja besar di dunia; dua di antaranya mukmin, dan dua lainnya kafir. Dua raja besar yang beriman adalah Dzul Qarnain dan Sulaiman, sementara dua raja besar yang kafir adalah Namrud dan Bukhtanashar.”
Para ahli menyebutkan, kekuasaan Namrud berlangsung selama 400 tahun. Ia bertindak semena-mena dan melampui batas, serta lebih mementingkan kehidupan dunia.
Ketika Ibrahim Al-Khalil menyeru Namrud untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada memiliki sekutu, kedunguan, kesesatan dan panjangnya angan Namrud mendorongnya untuk mengingkari Sang Pencipta. Namrud mendebat Ibrahim dalam hal itu, bahkan mengklaim dirinya tuhan. Saat Ibrahim Al-Khalil mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan’.”
Qatadah, As-Suddi dan Muhammad bin Ishaq menafsirkan, “Maksudnya, dua orang didatangkan, keduanya sudah dijatuhi hukuman salah satunya, dan memaafkan yang satunya lagi. Dengan tindakannya ini, ia seakan-akan menghidupkan salah satunya, dan membunuh yang satunya lagi.”
Kata-kata Namrud ini sama sekali tidak menentang hujah Ibrahim, justru menyimpang dari inti perdebatan, menimbulkan kekacauan dan jauh dari kenyataan. Jelasnya demikian, Ibrahim menyebut adanya Pencipta dan bukti adanya sebagai makhluk hidup dan mati yang bisa dilihat. Semua itu menunjukkan adanya pelaku utama (causa prima) dimana segala sesuatu bersandar pada-Nya dan tidak bisa berdiri sendiri. Pasti ada Pelaku terhadap semua makhluk yang ada, Pelaku yang menciptakan seluruh hewan yang bisa dilihat secara kasat mata kemudian setelah itu mematikan semuanya. Karena itu Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.”
Di raja dungu menjawab, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” Jika yang dimaksud bahwa dialah pelaku semua makhluk yang ada, berarti ia sombong dan membangkang. Dan jika yang dimaksud seperti dikatakan Qatadah, As-Suddi, dan Muhammad bin Ishaq, berarti si raja dungu tersebut mengatakan sesuatu yang sangat sekali tidak ada hubungannya dengan kata-kata Ibrahim, karena sama sekali tidak membantah bagian pembuka, juga tidak menentang dalil yang disampaikan Ibrahim.
Post a Comment